Dalam babad Mengwi disebutkan bahwa
lingkungan desa Sedang sabelunnya bernama desa Bhun diperintah oleh I Gusti
Ngurah Bhun yang pada masa itu menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Mangupura.
Kerajaan Mangupura yang sakarang dikenal dengan nama Mengwi, saat itu
diperintah oleh Ida Cokorda Agung Mayun.
Pada suatu kesempatan. Ida Cokorda Agung
Mayun mengadakan kunjungan ke desa Lambing. Di desa itu. Ida Cokorda mendengar
selentingan berita bahwa penguasa tunggal desa Bhun yaitu I Gusti Ngurah Bhun
berniat malepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Mengwi. Guna memastikan
kebenaran berita tersebut, maka Ida Cokorda memerintahkan I Gusti Ngurah Bhun
untuk menghadap beliau yang saat itu berada di dasa Lambing. Lambing adalah
sebuah desa yang letaknya di sebelah utara dasa Bhun. I Gusti Ngurah Bhun
menolak perintah Ida Cokorda. Penolakan bersebut membangkitkan kemarahan Ida
Cokorda. Beliau memutuskan untuk menyerang desa Bhun. I Gusti Ngurah Bhun
ternyata telah siap menghadapi serangan. I Gusti Ngurah Bhun mendapatkan bala
bantuan dari Dalem Sukawati dalam menghadapi serangan tersebut. Terjadi
pertemputan sengit antara kedua belah pihak. Serangan I Gusti Ngurah Bhun
berada di atas angin sehingga bisa mematahkan serangan kerajaan Mengwi. Ida Cokorda
Agung Mayun pun tewas dalam pertempuran tersebut. Mendengar berita naas itu. I
Gusti Ngurah Made Munggu adik sang narendra raja pergi memerintahkan Manca
Sibang Serijati dan Penarungan untuk mengadakan pertemuan kilat di Desa
Lambing. Isi instruksi dapat di tebak. untuk bersama-sana menyusun strategi
serangan balasan terhadap Desa Bhun. Demikianlah besok paginya manakala fajar
hampir menyingsing serangan balasan dimulai. I Gusti Ngurah Kemasan, Manca
Sibang Srijati barsama Gusti Ngurah Jalantik dan Manca Panarugan mengepung dari
arah barat. Sementara pimpinan tertinggi I Gusti Agung Made Munggu bersama
seorang panglima andalannya I Gusti Made Munag menyerbu dari arah utara yakni
dari Desa Bindu.
Kambali maletus pertempuran dahsyat antara
kedua belah pihak. Menghadapu seragan terkoordinasi rapi ini, pasukan I Gusti
Ngurah Bhun tidak dapat berbuat banyak, sehingga I Gusti Ngurah Bhun kalah.
Sanak kaluarganya serta pasukanya kocar-kacir. Sebagian besar mereka
meninggalkan Desa Bhun dan menuju desa-desa disakitarnya guna mencari
perlindungan. Beberapa orang putra I Gusi Ngurah Bhun menyerahkan diri pada I
Gusti Agung Made Munggu. Putra sulungnya dititahkan menempati sebuah kawasan
hutan bambu lebat yang letaknya di sebelah timur dasa Lambing atau sebelah utara
desa Bhun. Hutan bambu ini diistilahkan dengan Tiying Nges yang saat ini
dikenal dengan desa Tinges.
Sedangkan putra lainnya menyerahkan diri
pada I Gusti Agung Made Kamasan. Mereka diperintahkan rnenghuni di wilayah
Bantas. Istilah Bantas berarti bentar, datar. luas. Kini wilayah Bantes menjadi
banjar Bantes, sebuah banjar di desa Sibang Gede, berdekatan dengan Sibang
Serijati. Seorang pendeta yang sekaligus sebagai Siwa atau penasehat I Gusti
Ngurah Bhun mengalami nasib yang sarna. Mereka menyerahkan diri ke pangkuan I
Gusti Agung Made Kemasan dan diberi tempat pemukiman dekat kuburan. Pemukiman
ini akhirnya menjadi griya Dalem juga terletak di wilayah desa Sibang.
Peperangan telah usai, yang tertinggal
hanya puing-puing reruntuhan yang menjadi saksi bisu desa Bhun yang menjadi
hutan kenbali. Berkat jasa kemenangan dalam perang. I Gusti Agung Made Munggu
kemudian dinobatkan menduduki singasana yang kosong semenjak wafatnya Ida
Cokorda Agung Mayun. Maka berkiprahlah kebijaksanaan pemerintahan I Gusti Agung
Made Munggu yang arif bijaksana. Rakyat merasa aman tentram dan makmur.
Pembangungan dilaksanakan di segala sektor. juga di seluruh pelosok kerajaan.
Saat itu desa Bhun yang nyaris dilupakan orang mendapat giliran untuk dibenahi.
I Gusti Made Munang bersama 40 orang prajurit yang berasal dari desa Lambing.
Bindu dan Sigaran mendapat tugas mulia, membangun kembali desa Bhun dari
puing-puing reruntuhan akibat perang.
Maka pada hari minggu pon wuku Tambir,
penanggalan 14 sasih kasa. rah 7, tenggek 9, lsakaning 1472, tepatnya tanggal
19 Juli 1575 Masehi dimulailah peletakan batu pertama usaha penyesedan
(perambasan) semak-semak belukar hutan desa Bhun. Usaha itu dimulai dari bagian
timur laut wilayah desa Bhun. Dalam usaha penyesedan itu ditemukan sebuah taman
pemandian yang indah mempesona di bawah pohon kenanga. Air pemandian itu
merniliki keunikan tersendiri dapat menyembuhkan penyakit campak. Istilah pohon
kenanga kemudian melahirkan mana beji Nangga. Beji berarti taman atau
pemandian.
Usaha panyesedan diteruskm lagi ke arah
tenggara. Namun tidak seberapa hasil yang diperoleh para penyesed banyak
terserang penyakit sehingga diduga tempat tersebut merupakan tempat keramat.
Oleh karena keangkerannya maka didirikanlah dua buah pemujaan sebagai wujud
istana penyawangan Ida Ratu Mas Sakti dan Ida Ratu Gede Sakti.
Sambil merawat para penyesed yang jatuh
sakit, para penyesed lain terutama yang dari desa lambing juga mendirikan
sebuah pura yang diberi nama pura Mas Murub. Wedalan di pura ini Jatuh pada
Sabtu Pon Dungulan. Menurut hasil petuwun pada tahun 1978, pura ini pernah
diganti nama menjadi pura Dalem Agung. Selanjutnya para penyesed dari Lambing
diperintahkan mendirikan komplek pemukiman disekitar pura tersebut. Pemukiman
itu kemudian menjadi banjar Susuk. Susuk berasal dari kata sesek yang artinya
menyisipkan pada tempat yang memungkinkan.
Dari banjar Susuk, penyesedan diteruskan
lagi ke arah tenggara. Kawasan ini untuk jatah para penyesed dari desa Sigaran
yang kemudian disebut sebagai kawasan banjar Sigaran. Para penghuni banjar baru
ini kemudian mendirikan sebuah pura yang di beri nama pura Dalem Alit. Wedalan
di pura ini berlangsung setiap Selasa Kliwon Medangsia. Penyesedan tidak
berhenti sampai disini. Usaha ini dilanjutkan terus ke arah barat. Dalam misi terakhir
ini diupayakan membuat semacam pelataran yang begitu lapang, datar dan luas.
Disinilah didirikan rumah untuk pemimpin penyesed, I Gusti Made Munang. Rumah
ini disebut Jeroan Munang. Jeroan berasal dari kata Jero yang artinya rumah
bangsawan, sedangkan Munang berasal dari kata Muunang yang berarti membakar,
tajam, berkemampuan tinggi.
Perjalanan sang waktu merangkat terus
semakin berdatangan pula pendatang baru dari desa-desa dari sekitar desabhun,
seperti Sibang, Tegal, Abiansemal, Karang Dalem, Mambal dan lainnya. Sebagian
besar para pendatang baru tersebut harus melakukan penyesedan hutan terlebih
dahulu sebelum mereka bermukim di desa Bhun. Pada akhirnya karena pembenahan
kembali desa Bhun ini berawal dari penyesedan hutan, maka desa ini diberi nama
desa Sesedan. Istilah Sesedan dalam perkembangan selanjutnya mengalami
perubahan bunyi sehingga mejadi desa Sedang. Nama Desa Sedang selanjutnya
digunakan hingga saat ini.
Setelah usaha penyesedan dipandang
selesai, maka oleh para pemuka desa waktu itu didirikanlah perangkat Kahayangan
Tiga sebagai lembaganya penyungsugan penduduk yang pada kala itu semua memeluk
agama hindu. Saat ini desa Sedang merupakan sebuah desa dikepalai oleh kepala
desa dengan membawahi lima banjar dinas yaitu banjar adat sedang kelod, sedang
kaja, Kauripan, Sigaran, Aseman. Desa Sedang juga tergabung dalam ikatan desa
adapt sedang yang terdiri dari enam banjar ada yaitu banjar Adat Sedang,
Aseman, Ratih, Sigaran. Tengah dan Kauripan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar